Senin, 26 Mei 2014

RENUNGAN MINGGU INI




KETIKA DIFITNAH (1 Korintus 4:6-14)


Fitnah menghancurkan reputasi seseorang. Kalau tidak percaya, tanyailah Marcelino de Sautuola. Ia adalah arkeolog amatir yang pertama kali menemukan lukisan dinding zaman purba pada tahun 1879. Ketika ia mempublikasikan temuannya, banyak arkeolog yang cemburu. Mereka terang-terangan menuduh Sautuola sengaja menciptakan kebohongan untuk memperoleh popularitas. Ia akhirnya meninggal karena depresi. Puluhan tahun kemudian, baru para ahli mengakui keaslian temuan Sautuola.
Rasul Paulus pun kerap difitnah oleh musuh-musuhnya. Namun, apa responsnya? Ternyata ia tidak menjadi pahit atau marah. Ia tidak digerus oleh depresi berkepanjangan. Ia juga tidak membalas dendam. Sebaliknya, ia menjawab para pemfitnahnya dengan penuh kasih dan kesabaran (ay. 13). Apa rahasianya? Pertama, ia menyadari dirinya sebagai hamba Tuhan yang bisa menjadi sasaran penganiayaan dan penderitaan (ay. 10-13, lihat juga Fil. 1:29). Kedua, ia sesungguhnya mengikuti teladan Kristus, yang menurut kacamata dunia merupakan kebodohan (ay. 10). Bukankah apa yang dilakukan Paulus persis seperti Kristus: ketika dimaki malah memberkati dan ketika dianiaya malah bersabar (ay. 12)?
Difitnah memang tidak enak. Namun, jangan biarkan fitnah mendikte respons Anda. Belajarlah mencontoh Kristus dan Paulus. Walau difitnah, tetaplah sabar dan balaslah dengan kebaikan. Tentu saja hal ini tidaklah mudah, tetapi hal ini jauh lebih baik ketimbang membiarkan diri Anda dihancurkan oleh kebencian dan kemarahan akibat difitnah. 
FITNAH MEMANG KEJAM, TETAPI KASIH MAMPU MEMADAMKANNYA




RAJA ATAU HAMBA? TUAN ATAU JONGOS? (1Korintus 4:6-13)


Ini dapat dijawab dengan melihat siapa saja yang ada dalam lingkaran terdekat seseorang. Manusia cenderung untuk berusaha akrab dengan mereka yang secara sosial sejajar, atau kalau mungkin, lebih tinggi. Biasanya, pertemanan akrab dengan mereka yang secara sosial lebih "rendah", apalagi "sampah", dihindari karena berisiko menjatuhkan pamor.
Faktor sosial seperti ini adalah salah satu penyebab konflik yang terjadi antara sebagian jemaat Korintus dengan Paulus. Mereka menganggap Paulus yang kerap menderita (ayat 11-13), punya kelemahan fisik ("lemah", 10; bdk. 2Kor 12:7), dan menghidupi diri dari pekerjaan yang relatif kasar (ayat 12) itu tidak layak untuk tetap dekat dan melayani Korintus, jemaat yang kaya dalam karunia dan berkat. "Tidakkah akan terasa lucu bila Injil berkat melimpah yang jaya itu diberitakan oleh seorang malang, rendah, lemah dan hina (ayat 9-10)?"
Paulus mengkoreksi pandangan yang salah ini dengan ironi yang menyindir: mereka mulia sementara Paulus dan rekan-rekannya hina, dan seterusnya (ayat 8-10). Ironi ini bertujuan menyadarkan jemaat Korintus bahwa manusia yang rohani, menerima Roh Allah, memiliki hikmat-Nya, dan bermegah dalam-Nya, justru adalah manusia yang menjadi hamba. Paulus menunjukkan bahwa dalam penderitaan dirinya dan kawan-kawannya justru lebih dekat kepada keadaan Tuhan (bdk. 9-13 dengan Yes 53:2b-3). Dalam keadaan seperti yang Paulus alami, justru nyata kebenaran bahwa sungguh- sungguh hikmat dan karya Allah adalah kebodohan bagi dunia (bdk. dengan 1:26-29). Karena itu, seperti pada Paulus, panggilan agar kita hidup menjadi orang-orang kudus (ayat 1:2) berarti hidup sedemikian rupa sebagai seorang hamba dengan konsekuensi dianggap bodoh serta hina oleh dunia. Anda juga tidak dapat melayani dua tuan, Allah dan diri Anda ataupun kepentingan pribadi Anda. 
TUNDUKKAN DIRI ANDA SEBAGAI HAMBA, SUPAYA ANDA DAPAT MELAYANI ALLAH DALAM DUNIA.
 



TEGURLAH DAKU, KAU KUTANGKAP. (1Korintus 4:14-21)


Ini sebenarnya skenario yang Paulus harapkan terjadi di tengah- tengah jemaat Korintus. Seperti telah kita lihat dari pasal 1 hingga 4, teguran-teguran Paulus tidak bersifat menghakimi. Paulus memberikan argumen-argumen agar jemaat Korintus mengerti alasan tegurannya. Paulus juga membujuk, menyindir dengan ironi, agar mereka tersentak, malu, dan sadar. Di sini Paulus menggunakan metafora lain untuk tujuan yang sama. Sebagai rasul yang meletakkan dasar berdirinya jemaat Korintus, Paulus menyapa mereka sebagai anak-anaknya, dan dia adalah bapak mereka (ayat 17). Relasi bapak-anak yang khas ini tidak dipunyai oleh para pengajar lain yang kemudian melayani di Korintus (bdk. 15). Atas dasar otoritas dan relasinya sebagai bapak, Paulus memberikan teguran, himbauan, nasihat, dan peringatan pendisiplinan kepada mereka.
Namun, otoritas Paulus bukanlah otoritas yang paternalistis dan menindas. Paulus bertindak berdasarkan dua motivasi. Pertama, himbauan, teguran, dan ancaman pendisiplinan Paulus didasarkan pada kasihnya sebagai bapak mereka (ayat 14). Kedua, Paulus semata bersandar pada kuasa Roh yang bekerja dalam ketaatannya kepada Allah. Itulah sebabnya Paulus memastikan rencana kedatangannya ke Korintus untuk bertemu dengan orang-orang "sombong" yang bermegah pada pengajaran hikmat yang "rohani" tetapi sebenarnya duniawi (ayat 19). Pada saat Paulus datang, Allah sendiri yang akan menyingkapkan kepalsuan kuasa kata-kata hikmat mereka.
Kasih yang murni dan kuasa yang mendayakan kehidupan Kristen menjadi sebuah kesaksian, itulah ciri sejati kehidupan manusia rohani. Kedaulatan Allah sebagai raja atas hidup hanya nyata di dalam hidup Kristen yang taat dan tidak meninggikan diri. Kerohanian bukanlah sertifikat yang mengangkat seseorang menjadi penilai kerohanian orang lain. 
JADILAH MANUSIA ROHANI SEJATI DENGAN HIDUP YANG PENUH KASIH DAN BERKUASA.


KENAIKAN (Kisah 1:1-11; Yohanes 14:2-3)



Penampakan Yesus yang berulangkali setelah kematian-Nya membuat para pengikut-Nya bersukacita dan terus ingin bertemu dalam keadaan seperti itu. Namun 40 hari setelah kebangkitan-Nya, sesudah Dia memberikan pesan-pesan terakhir kepada murid-murid-Nya, terangkatlah Dia dan awan menutupi-Nya dari pandangan mereka.
Sebenarnya Yesus dapat menghilang dalam sekejab seperti yang pernah dilakukan-Nya pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Namun kali ini Dia ingin kenaikan-Nya ke surga disaksikan oleh para murid untuk mengingatkan mereka bahwa ini adalah pertemuan terakhir-Nya. Kehadiran tubuh jasmani-Nya segera akan digantikan oleh sesuatu yang lebih baik. Kenaikan Yesus ke surga menandai bermulanya sebuah zaman yang baru.
Dalam tubuh jasmani-Nya yang telah dimuliakan, Tuhan Yesus naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah, mengutus Roh Kudus ke dunia (Yohanes 14:16-18; Kisah 2:33), menjadi Pengantara bagi kita (Roma 8:34;Ibrani 7:25), dan kini kehadiran dan kuasa ilahi-Nya menjangkau seluruh alam semesta (Efesus 1:15-23; 4:10).
Sebuah tulisan lama mengatakan bahwa Yesus naik ke surga berikut tubuh jasmani-Nya untuk "menjamin kita masuk ke surga, dan menyediakan tempat bagi kita." Itu benar. Selain itu juga benar bahwa sebagai Allah, Dia akan selalu menyertai kita sampai kepada "akhir zaman" (Matius 28:20). Betapa luar biasa Juruselamat kita!
DIA NAIK UNTUK MENYEDIAKAN TEMPAT BAGI KITA!



KATA YESUS TENTANG DIRI-NYA (Yohanes 14:1-13)



Siapakah Yesus? Jika Anda adalah seorang kristiani mungkin pertanyaan ini terdengar bodoh. Tentu saja Dia adalah Tuhan dan Juru Selamat umat manusia. Namun, faktanya, seringkali status ini terlalu sering disebutkan dengan muatan makna yang beragam. Bagi sebagian orang, kedua gelar itu menunjukkan bahwa Yesus adalah Seorang yang secara istimewa dipilih Tuhan untuk menunjukkan jalan hidup yang benar bagi umat manusia. Yang lain menganggapnya sebagai Sang Pembuat mukjizat, teladan moral teragung, guru dengan hikmat yang luar biasa, dan pendiri agama besar yang patut dihormati.
Namun, pernyataan-pernyataan Yesus tentang siapa diri-Nya jauh dari gambaran itu. Yesus menyatakan diri-Nya bukan salah satu jalan, bukan seorang penunjuk jalan tetapi Dia sendirilah jalan kepada Allah (ayat 6). Dia bahkan menyatakan bahwa diri-Nya adalah perwujudan dari Allah yang tidak bisa dilihat oleh manusia (ayat 7, 9-11). Ingin tahu seperti apa Allah itu? Lihatlah Yesus! Sebuah pernyataan yang super radikal, yang bahkan sulit diterima orang pada masa-Nya, sehingga mereka akhirnya menyeret-Nya ke kayu salib (lihat pasal 19:7).
Pikirkanlah sekali lagi ketika Anda berkata bahwa Anda memercayai Yesus. Dia menyatakan diri-Nya sebagai Allah sendiri. Bukan sekadar Tokoh Agung dalam sejarah yang patut dipelajari dan diteladani hidup-Nya, melainkan Tuhan yang memegang kendali penuh atas hidup dan mati. Semua perkataan-Nya dapat dipercaya dan harus ditaati. Di luar Dia, orang tidak mungkin diperdamaikan dengan Allah. Apakah hidup kita sungguh mencerminkan bahwa kita memercayai Yesus sesuai dengan apa yang Dia nyatakan?  


YESUS BUKAN HANYA PRIBADI YANG PATUT DITELADANI, MELAINKAN JUGA ALLAH YANG BERKUASA ATAS HIDUP DAN MATI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar