Nats: Kolose 1:1-5
|
Dalam Kolose 1:1-2 terdapat salam dari rasul Paulus dan
Timotius kepada jemaat di Kolose, di awal surat penggembalaan dari rasul Paulus
kepada jemaat di Kolose. Dalam korespondensi, dari zaman dahulu sampai
saat ini, selalu dicantumkan nama pengirim dan penerimanya, kalau
tidak maka pesan tidak dapat tersampaikan. Ketika satu pihak berkomunikasi
dengan pihak lain, di situ terjadilah perjumpaan antar pribadi. Di awal surat
penggembalaan tersebut di atas, Paulus menuliskan tentang dirinya dan juga
siapakah jemaat Kolose.
Dari 2 ayat pertama tersebut di atas, kita bisa melihat identitas
dari orang percaya/ jati diri dari orang Kristen. Latar belakang jemaat Kolose
adalah jemaat yang tidak terlalu bermasalah. Hal ini terlihat dari Kolose 1:3
yang menyatakan bahwa setiap kali rasul Paulus dan Timotius berdoa, mereka
selalu mengucap syukur kepada Allah Bapa tentang keberadaan jemaat Kolose.
Jemaat Kolose bukanlah didirikan secara langsung oleh rasul Paulus, melainkan
oleh Epafras, yaitu orang Kolose yang pernah dilayani oleh Paulus sebelumnya di
kota Efesus. Dari sini kita bisa melihat bagaimana seorang Paulus memiliki hati
yang begitu besar, yang mau mendoakan anak rohani hasil pelayanan dari orang
lain.
Kita hidup di tengah-tengah situasi dan kondisi di mana
seolah-olah kita tenggelam di dalamnya dan tidak bisa lari dari pengaruh dunia
ini. Sebagaimana Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita ibarat domba yang ditempatkan
di tengah-tengah srigala, yang mana bukan merupakan ancaman melainkan janji.
Janji Tuhan seringkali kita lihat sebagai hal-hal yang menyenangkan hati kita
saja, yang membuat hidup kita nyaman dan lancar. Janji Tuhan tidaklah selalu
bersifat menyenangkan dan nyaman menurut kita, tetapi adalah sesuatu yang pasti
akan terjadi. Ketika kita tahu bahwa sebagai domba yang diletakkan di tengah
srigala, maka kita pasti akan berpikir bahwa kawanan srigala tersebut pasti
akan menganiaya kita. Penganiayaan ini tidak selalu dalam bentuk fisik,
melainkan juga secara konsep/ paradigma/ pola pikir. Penganiayaan
secara konsep ini justru jauh lebih merusak, jauh lebih mengoyakkan orang-orang
percaya, daripada penganiayaan secara fisik.
Kita hidup di tengah-tengah zaman yang berusaha menganiaya kita,
bahkan dengan cara yang sangat halus. Ketika kita bicara tentang identitas
diri, apa yang ada di pikiran kita? Apakah saya adalah seorang mahasiswa, saya
lahir dari etnis tertentu, saya lahir dalam golongan sosial tertentu,
saya lahir dalam kebudayaan/ tradisi tertentu? Apakah semuanya itu merupakan
identitas? Ya, tapi identitas tidak hanya itu, identitas sejati adalah ketika
kita berada di hadapan Tuhan. Jadi, identitas bukan sekedar siapa kita di
hadapan sesama kita, melainkan juga siapa kita di hadapan Tuhan. Zaman ini
terus menerus mereduksi identitas kita hanya sampai batas siapa
kita di hadapan sesama kita. Sebagai contoh, kaum remaja yang berada dalam
tahap mencari identitas, akan selalu mengidentikkan dirinya dengan kelompoknya
agar bisa diterima oleh kelompoknya. Kita mungkin tidak lebih baik dari kaum
remaja, kita memang tidak lagi mencari identitas tetapi kita mungkin gamang
dengan identitas kita.
Remaja pria cenderung memiliki penampilan seperti idola boy-band
mereka. Hal ini mungkin akan berlalu secara fenomena, tetapi ada sebuah spirit di
belakang itu. Remaja putri saat ini cenderung lebih menyukai pria yang kemayu
(bahasa Jawa, artinya: berpenampilan seperti perempuan). Pada zaman ini,
laki-laki yang berpenampilan jantan/ sebagaimana laki-laki adalah kurang laku.
Contoh yang lain, pemain Reog di Ponorogo tidaklah boleh menikah/ menyentuh
perempuan, lalu untuk menyalurkan hasrat biologisnya mereka bersetubuh dengan
remaja pria. Dalam hal ini, homoseksualitas dilegalkan sedemikian, dalam sebuah
kebudayaan tradisional. Dalam kebudayaan Tiongkok maupun Jepang juga ada
kebudayaan yang melegalkan homoseksualitas. Semuanya ini dikarenakan adanya
skenario dari si jahat di belakang itu, yaitu memusnahkan umat manusia dengan
cara homoseksualitas. Manusia dicipta oleh Tuhan sebagai Adam dan Hawa, tetapi
hal ini dicoba untuk dihancurkan.
Tantangan di atas dihadapi oleh semua orang, tetapi sebagai orang
Kristen kita memiliki tantangan yang jauh lebih berat, yaitu ketika si jahat
berusaha untuk menyesatkan kita, karena hal ini bersifat lebih halus dan lebih
jahat karena menusuk sampai ke sumsum dari pemikiran kita.
Jati diri kita berusaha direduksi oleh zaman ini, contohnya:
ketika kita pergi ke sebuah restoran dengan memakai pakaian yang kumal dan
memakai sandal jepit pasti akan diperlakukan secara berbeda
dengan ketika kita pergi ke sana memakai pakaian yang sangat rapi dan mahal
serta bersepatu. Hal ini disebabkan karena orang tidak lagi melihat siapa diri
kita, tetapi yang dilihat adalah isi kantong kita. Identitas direduksi hanya
sekedar kekuatan ekonomi kita berapa, etnis kita apa, berapa tingkat
inteligensi kita. Identitas yang dinyatakan dalam Alkitab oleh rasul Paulus
adalah di dalam Kristus, dengan karakteristik: kudus dan setia beriman kepada
Kristus. Paulus menyapa bukan dengan nama melainkan dengan identitas kita di
hadapan Allah.
Identitas kita tidaklah boleh direduksi oleh dunia ini. Identitas
kita adalah bagaimana diri kita di hadapan Tuhan. Kita tidak bisa berdiri di
hadapan Tuhan dengan kebanggaan seperti yang dimiliki oleh orang Farisi maupun
pemungut cukai. Orang Farisi bisa sedemikian karena mereka memiliki penafsiran
yang salah terhadap Firman Tuhan. Theologi Reformed salah
satunya menekankan pada kembali kepada kebenaran/ Firman Tuhan/ sola scriptura
(artinya: hanya Firman), dan memiliki penafsiran yang sangat mendekati
kebenaran. Kita yang termasuk anggota GRII mungkin akan berpikir bahwa kita
adalah orang benar dan orang yang dari gereja lain tidaklah benar. Yang perlu
dipikirkan adalah: apakah Theologi Reformed hanya ada dalam pikiran? Sebagai
orang Kristen, mengapa kita hidup di tengah-tengah kemunafikan?
Kekristenan memiliki identitas di dalam Kristus. Tidak ada agama
lain yang berani mengatakan bahwa mereka berada di dalam ilahnya, melainkan
bersatu dengan ilahnya tetapi tidak memiliki relasi. Sebenarnya, ketika mereka
bersatu dengan ilahnya, roh ilah mereka sedang merasuk. Kerasukan adalah
penjajahan/ penguasaan dan bukan merupakan relasi. Iman Kristen bukan sekedar
agama melainkan merupakan sebuah relasi. Di dalam kekristenan terlihat ciptaan
yang berelasi dengan Sang Pencipta, yang ditebus berelasi dengan Penebus,
manusia berelasi dengan Allah.
Roma 6:5: Sebab jika kita
telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan
menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Roma 6:10: Sebab
kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya,
dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Ketika dikatakan bahwa kita
berada di dalam Kristus, berarti kita bersatu dalam kematian-Nya dan
kebangkitan-Nya. Percaya kepada Kristus adalah berbeda dengan berada di dalam
Kristus. Percaya kepada Kristus seharusnya adalah percaya yang berada di dalam
Kristus, tetapi ada percaya yang tidak berada di dalam Kristus, yaitu ketika
kita mengaku percaya tetapi kita memperlakukan Dia sebagai ilah yang memberikan
kelancaran/ kesembuhan/ apa yang baik menurut kita.
Kita harus senantiasa berhati-hati, bukan hanya di dalam dunia
melainkan juga di dalam gereja, jangan-jangan kita tidak berada di dalam
Kristus. Jemaat GRII tidaklah kebal terhadap kondisi di atas. Jemaat Kolose
pada saat itu tengah berada dalam kondisi sinkretis, mereka menyembah
malaikat-malaikat/ ilah-ilah para tentara langit. Jadi diperkirakan ada satu
sayap mistis Yudaisme yang menyisip masuk ke antara mereka. Sinkretisme bukan
sekedar religiositas melainkan merupakan sikap hati kita di hadapan Tuhan.
Ketika ada allah lain dalam hati kita (bisa berupa diri kita sendiri ataupun
materi), jangan-jangan kita telah menggantikan posisi Allah dalam hati kita,
walaupun mungkin kita tidak pernah ke Gunung Kawi ataupun tempat ibadah yang
lain atau menyembah berhala secara lahiriah; di saat itulah sinkretisme
terjadi.
Jemaat Kolose adalah jemaat yang sungguh-sungguh beribadah kepada
Allah, tetapi mereka juga jatuh ke dalam sinkretisme. Dalam hal ini, rasul
Paulus tetap menyebut mereka sebagai saudara-saudara yang kudus dan yang
percaya dalam Kristus. Apakah Paulus tidak tahu akan sinkretisme yang dilakukan
oleh jemaat Kolose, atau Paulus berkompromi dengan sinkretisme tersebut? Tidak!
Paulus mau mengatakan bahwa walaupun jemaat Kolose sambil beribadah kepada
Tuhan sambil menyembah ilah lain, mereka memiliki iman yang murni, dan Paulus
bermaksud mengingatkan siapakah diri mereka di hadapan Allah.
Sebagai contoh, walaupun kita termasuk orang percaya, ketika kita
pergi ke sebuah gedung perkantoran dan berada di lantai 4 maupun lantai 13,
maka kita akan merasa sedikit tidak nyaman; ketika berada di tempat gelap kita
merasa takut bukan terhadap penjahat melainkan terhadap hantu. Ketika kita
merasa seperti di atas, sebetulnya siapakah allah yang kita sembah? Bukankah
seluruh alam semesta ini berada dalam kuasa Kristus, kepada siapa kita
menyembah, mengapa kita masih memiliki ketakutan seperti di atas?
Identitas kita adalah identitas yang sudah diperbaharui. Paulus
mengatakan bahwa kita adalah manusia baru di dalam Kristus. Di hadapan Allah
tidaklah ada manusia kaya maupun miskin, tidak ada orang bodoh maupun pandai,
tidak ada etnis yang lebih daripada etnis yang lain. Di hadapan Allah hanya ada
2 macam manusia yaitu: di dalam diri Anak-Nya ataukah di luar diri Anak-Nya.
Bukan berarti kita harus menyangkali identitas kita secara fisik melainkan kita
harus sadar bahwa Allah telah menebus kita dan memberikan kepada kita identitas
yang baru. Manusia baru adalah manusia di dalam Kristus, yang berada bersama
dengan kematian Kristus yaitu kematian terhadap dosa. Panggilan kita adalah panggilan
untuk mematikan dosa di tengah-tengah dunia ini. Ketika kita hidup mematikan
dosa maka kita sudah meninggikan Kristus di dalam hidup kita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar